Amat Jaga - Studi Panggung 31 Teater Awal Bandung
Pementasan Amat Jaga - Teater Awal Bandung |
Realisme-nya ‘Amat Jaga’ tentunya tidaklah
seperti Ibsen, Chekov, dan Stenberg yang menggunakan hipotesis bahwa kehidupan
kolektiv merupakan sarang kepalsuan sehingga nampak dan munculah
individu-individu yang memberontak. ‘Amat jaga’ justru
sebaliknya, ia mencoba mengembalikan kehidupan yang individu ke kolektiv
sebagaimana keyakinan etik orang sunda: ‘hade ka dulur, hade kabatur,
jaga lembur dan panjeg dina galur’. Sebagaimana yang berkali-kali
dikatakan Amat kepada warga kampung yang hendak pergi ke kota ’urbanisasi’,
kepada warga kampung yang telah kehilangan lahan garap dan pencariannya
bahwa: “kita semua berhak hidup dan tinggal disini, mari bersama-sama
kita bangun kembali seperti dulu mengolah lahan bersama”. Ketika
nilai-nilai terdahulu dilupakan, tapi yang modern belum memiliki kepastian hari
esok. Bertemunya yang tradisi dengan modern menjadi proses dialektis
sebagai upaya untuk menemukan gambaran dari dunia yang ideal.
Pergeseran,
kutukan dan anomali dari kehilangan ruang
“jika kita tidak memuliakan, maka kutukan dewi sri akan datang” Begitulah si nenek berujar saat upacara Dewi Sri kepada
warga kampung ketika pertunjukan dimulai. Di akhir pertunjukan ketika pemuda
bernama Amat mati secara tragis. Amat yang menjadi mandor mati dibunuh oleh
amat yang menolak pabrik, dan amat yang menolak pabrik mati ditembak polisi
setelah membakar pabrik dan membunuh Amat mandor. Dan pemodal masih bercokol
membuat pabrik lagi. ‘Kutukan’ itu datang dan tak dapat
dicegah maupun ditunda sejak pemodal masuk ke kampung, sejak pertunjukan
dimulai saat upacara Dewi Sri dan dilemparnya koin oleh kepala desa. Dan ‘kutukan’ yang
diramalkan itu bernama kapitalisme.
Persoalan relasi manusia dengan menusia lain dan alam. Nampaknya
menjadi sentral episteme yang tak pernah usang untuk dibicarakan dalam berbagai
ranah diskursus
hingga kini. Semisal pentetangaan kelas,
soal-soal agria, hak asasi manusia, dan lain-lain..
Munculnya pabrik di kampung yang meyebabkan pencemaran lingkungan
dan tidak suburnya pertanian warga sehingga panen gagal. Karena bertani tidak
lagi menguntungkan maka tanah tersebut dijual ke pemilik pabrik dan pabrik jadi
luas. Dari hilangnya lahan garap di kampung, petani yang pada mula berkeja
untuk dirinya kemudian bekerja untuk orang lain. Yang dulunya di kampung pergi
ke kota. Bayaknya pencari kerja menjadi salah satu penyebab upah murah selain
alat produksi yang didukung dengan berbagai penemuan teknologi mutakhir.
Amat yang menolak pabrik ini, selanjutnya menjadi ironi dengan
mengadu kepada tuhan. Dan ia sendiri tahu bahwa tuhan tidaklah bisa menjawab
pertanyaan sebab yang paling nyata ialah interaksi dirinya dengan sesama
manusia dan alam yang tidak sekedar memenuhi kehidupannya layaknya binatang.
Adegan monolog ini tampil dengan penuh ironi, teks-teks yang meledak-ledak
hingga kemudian berakhir pada sebuah pertanyaan pada penonton: “Jika
Kau diam, maka aku harus mengambil sikap” sambil mengacungkan kampak
ke langit. Pada titik inilah, momen reflektif bagi penonton hadir. sebab
industri,pabrik, pengrusakan alam, kapitalisme begitu masif dalam sehari-hari
dan bergelindan. Disini pula jiwa penonton disucikan.
Tokoh Amat jaga diperankan oleh Alan Talor dan tokoh Amat yang
satu lagi diperankan oleh Asup Angkatan ke-31.
Dalam naskah Amat Jaga ini, peristiwa yang terjadi pada saat itu
ada korelasinya dengan kejadian sekarang, salah satunya, banyak daerah menjaga
kearifan lokalnya sudah tidak bisa dipertahankan dengan terjadinya proses
akulturasi budaya, bahkan gaya hidup pun mempengaruhi untuk perkembangan pemikiran
masyarakat, sehingga tidak bisa mempertahankan lokal budayanya itu sendiri,
peristiwa ini menjadi kemunduran bangsa untuk mempertahankan etnis nya,
Saini K.M menghadirkan isu
yang penting dalam naskah ini untuk proses penyadaran terhadap masyarakat,
bahwa budaya dan kebiasaan kearifan lokal harus dijaga dan dilestarikan supaya
menjadi ciri khas bangsa kita untuk saling menghargai satu sama lain.
Tidak ada komentar: