Syekh Siti Jenar - dalam rangka Festival Teater Cirebon
Pementasan Syeh Siti Jenar - Teater Awal Bandung |
Menurut Yayan Katho, dalam naskah Syekh Siti Jenar
berpandangan tentang cara berpikir beragama dengan lebih cerdas, jadi
beragamalah dengan cerdas, bukan beragama dengan cara ikut mengikuti, Siti
Jenar menemukan hal dari setiap pribadi secara spritual dalam dirinya di proses
beribadah, berangkat dari itu dan berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di
naskah Siti Jenar, hal ini masih kontekstual dengan peristiwa yang terjadi di
masyarakat pada saat itu.
Bahkan pada naskah Siti Jenar ini ada hal yang sangat
menarik yaitu, kalau dibuka dihalaman pertama pada naskah Saini K.M, dia
membuat pengantar “bahwa ini adalah peristiwa yang bisa jadi kebenaranya milik
semua orang, naskah ini dibangun hanya kepentingan dramatik saja”, begitu sangat cerdasnya Saini K.M untuk
menjaga bahwa memang perjalanan naskah Siti Jenar, begitu banyak versi sehingga
Saini K.M membuat batasan, dan menjelaskan kepada semua orang bahwa karya
sastranya ini hanya dibuat untuk kepentingan dramatik saja, tidak ada hal
lainya.
Syekh
Siti Jenar lahir sekitar 829 H/1348
Caka/1426 H di lingkungan Pakuwuan, Caruban, pusat kota Caruban yang sekarang
dikenal dengan Astana Japura, sebelah tenggara Kota Cirebon. Di luar
kelahirannya tersebut, riwayat kematiannya juga kontroversial. Berikut beberapa
versi kematian Syekh Siti Jenar yang dirangkum dan didapatkan dari
sumber media Suaramerdeka.com.
Versi pertama, meninggalnya
Siti Jenar karena dihukum mati oleh Sultan Demak, yaitu
Raden Patah, atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang.
Sebagai algojo hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, dan eksekusi hukuman
dilaksanakan di alun-alun Kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada
Serat Syeikh Siti Jenar yang ditulis Ki Sosrowidjojo.
Versi ketiga, Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati
oleh Sunan Giri, dan sebagai algojo hukuman mati adalah Sunan Gunung Jati.
Sebagian riwayat ini menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas
usulan Sunan Kalijaga.
Versi keempat, Syekh Siti Jenar meninggal karena vonis hukuman mati yang
dijatuhkan Sunan Giri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini dikisahkan
dalam Babad Demak. Menurut Babad Demak, Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena
kemauannya sendiri (karena dengan kesaktiannya, ia dapat menemui ajalnya),
tetapi ia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan ke badannya hingga tembus
ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.
Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya
berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang
berkilauan. Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga ditulis dalam Babad
Tanah Jawa yang disadur S,Santoso, dengan versi sedikit berbeda.
Versi kelima, vonis hukuman Syekh Siti Jenar dijatuhkan oleh Sunan
Gunung Jati, sedangkan yang menjalankannya adalah Sunan Kudus. Kematian Syekh
Siti Jenar versi ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi suntingan
Rahman Selendraningrat. Kisah ini diduga bercampur aduk dengan kisah eksekusi
Ki Ageng Pengging yang dilakukan Sunan Kudus.
Ia ingin menemui ajalnya seperti yang telah ditetapkan Allah. Versi ini
mengacu pada Serat Syekh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, dan
disebarkan oleh Abdul Munir Mulkan.
Versi ketujuh, ada dua orang yang sama-sama menaruh dendam pada Syekh
Siti Jenar. Kedua orang ini memiliki nama yang mirip dengan nama kecil Syekh
Siti Jenar, San Ali. Pertama, Hasan Ali (Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi)
yang diusir dari keraton karena kedurhakaannya kepada Rsi Bungsi dan
pemberontakannya pada Cirebon. Ia dendam pada Syekh Siti Jenar karena berhasil
menjadi guru suci utama di Giri Amparan Jati.Yang kedua, San Ali Anshar
al-Isfahani dari Persia, teman seperguruan Syekh Siti Jenar. San Ali Anshar
juga dendam kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam ilmu dan kerohanian.
Kedua orang ini lalu berkeliling Jawa sambil mengaku murid Syekh Siti Jenar.
Jadi begitu nampak sekali , banyak versi Syekh Siti Jenar yang ada, dengan kesantunan Saini K.M dalam menullis dan kecerdasan dalam menjaga etika kepenulisannya, akhirnya beliau membuat pengantar itu dengan jelas untuk membuat naskah yang begitu baik dalam penyajian konflik dramatiknya.
Tidak ada komentar: