KOPI, NGOPI DAN TEATER KITA HARI INI - Jon Fakir
KOPI
Asal-usul kopi masih menjadi perdebatan. Sebagian
menyebutkan bahwa kopi berasal dari Etiopia, sebagian lagi percaya bahwa kopi
berasal dari Yaman. Setiap daerah memiliki mitos dan legenda kopi
masing-masing.
Dalam legenda Etiopia, kopi pertama ditemukan oleh seorang
penggembala kambing—bernama Kaldi—yang kebetulan menemukan semak yang
menghasilkan buah berwarna merah. Buah tersebut dipercaya mampu memberikan efek
penambah tenaga. Biji buah tersebut kemudian diberikan pada seorang biarawan.
Pemberian ini tidak disambut dengan baik, malah dibalas dengan hinaan. Tapi
aroma hasil sangrai bijih buah itu mampu menarik perhatian sang biarawan, dan
dianggap mampu mendukung prosesi doa karena membuat mereka tetap terjaga[i].
Sementara oleh masyarakat Yaman, kopi dipercaya merupakan
hasil penemuan tokoh sufi bernama Ghothul Akbar Nooruddin Abu al-Hasan
al-Shadhili. Al-Shadhili mengamati seekor burung yang tenaganya bertambah
akibat memakan buah bunn. Sang sufi kemudian mencobanya dan menemuka efek yang
sama. Dalam legenda Yaman lain tanaman kopi ditemukan oleh Sheikh Omari.
Efek kopi dalam kedua legenda tersebut ternyata didukung
pula oleh hasil studi ilmiah. Kopi diketahui mampu meningkatkan laju detak
jantung, meningkatkan perhatian, pemikiran dan aktivitas[ii]. Dalam studi yang
dirilis dalam The Journal of Nutrition Nutritional Epidemiology, diketahui
bahwa kafein—zat yang terkandung dalam kopi—mampu meningkatkan kemampuan
kognitif global, memori verbal dan meningkatkan perhatian[iii]. Kemampuan
kognitif global adalah kemampuan manusia dalam berfikir secara kritis,
menggunakannya secara efektif dan tajam. Sementara memori verbal adalah memori
yang berkaitan dengan kemampuan psikologis dalam mengelola kata dan Bahasa.
NGOPI
Sebenarnya kata Ngopi tidaklah tepat, sesuai dengan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata yang tepat untuk menunjukkan aktivitas meminum
kopi adalah mengopi. Tapi bukankah Bahasa sangat longgar dan berkembang sesuai
dengan perkembangan perilaku berbahasa kita? Maka kita lupakan saja sejenak
kesalahan jamak itu.
Maka bagi para pengopi—penggemar kopi—akhir-akhir ini
merupakan surga. Warung-kafe kopi menjamur di hampir semua daerah, baik itu di
kota besar maupun kecil. Hal itu bisa diduga—sedikit atau banyak—merupakan efek
dari box officenya film Filosofi Kopi. Selain permintaan kopi yang tinggi, daya
tarik bisnis kedai kopi juga didorong dari margin keuntungan yang cukup besar.
Rata-rata margin keuntungan dari kedai kopi mencapai 35-40 persen dari total
penjualan. Sementara tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia terus
meningkat. Pada pada tahun 2017 konsumsi kopi sekitar 1,2 kg per kapita,
sedangkan pada tahun 2018 meningkat menjadi sekitar 1,4-1,5 kg per kapita[iv].
Dulu, minum kopi hanya dilakukan secara sederhana, hanya
dengan menyeduh kopi bubuk dengan air panas saja. Lalu muncul kebiasaan
menikmati kopi baru dengan Teknik pengolahan dan penyajian kopi yang sangat
beragam sambil bercengkrama bersama kawan di warung kopi, dan kini kebiasaan
tersebut telah naik tingkat, dengan menyesap sajian kopi yang diracik oleh
barista di coffee shop. Coffee shop didesain dengan dekorasi yang menarik dan
instagramable serta membuat pembelinya merasa nyaman seakan di rumah. Bahkan,
tak jarang banyak yang berkunjung ke coffee shop untuk menyelesaikan pekerjaan,
karena kedai kopi dirasa mampu meningkatkan produktivitas[v].
Hubungan kopi dan kreativitas cukup erat. Voltaire—penulis
besar Perancis—diketahui meminum kopi sekitar 50 gelas per hari. Honore de
Balzac—novelis dan penulis naskah drama Perancis—meminum sebanyak 50 gelas kopi
selama 14 jam proses penulisannya per hari. Balzac mengklaim bahwa kopi
dibutuhkan dalam proses penulisannya[vi]. Beberapa tokoh lain yang juga
merupakan penyandu kopi adalah Beethoven, Sartre dan Mahler.
Bahkan di Paris, Perancis ada satu kafe yang sangat terkenal
sebagai tempat kreatif seniman-seniman besar, yaitu Les Deux Magots. Jean Paul
Sartre dan Simone De Beauvoir sering menghabiskan waktu di kafe tersebut sambil
menikmati kopi. Mereka sering berdiskusi tentang isu-isu eksistensialis atau
isu-isu hangat saat itu. Bahkan katanya dua orang ini sampai punya meja atau
spot khusus yang mereka gunakan untuk menulis setiap hari. Di sana juga
sesekali Sartre bertemu dengan Ernest Hemmingway dan berbincang dengannya.
Tokoh lain diantara adalah Albert Camus—penulis The Myth of Sisyphus—, Boris
Vian, James Joyce, Bertold Brecht—tokoh teater epik—, Stefan Sweig Verlaine,
Rimbaud, Mallarmé, dan Picasso sering mengunjungi kafe tersebut. Picasso bahkan
disebut-sebut membuat kubisme di tempat tersebut[vii].
TEATER KITA HARI INI
Coffee shop sekarang ini adalah sebuah teater sosial. “Dunia
ketiga” yang merupakan tempat lain selain rumah dan tempat kerja
(Sanggar/Sekretariat) tempat realitas sosial berlangsung. Terjadi peningkatan
jumlah pemanfaatan coffee shop untuk perkantoran dan aktivitas kreatif. Hal ini
merupakan akibat dari penambahan dekorasi yang menarik dan fasilitas internet
gratis melalui wifi yang memberikan dukungan pada konektvitas melampaui dinding
kafe[viii].
Kehidupan teater—mungkin juga seni secara umum—memang sejak
dulu sangat dekat dengan kopi. Setiap aktivitas teater selalu ada kopi.
Rapat-rapat produksi maupun artistik, juga sekedar
berbincang mengenai isu-isu kesenian terkini juga semakin meningkat
intensitasnya di warung kopi. Diskusi-diskusi tematik mulai digelar di beberapa
kota, misalnya Sinau Teater (Malang), Demam Teater (Surabaya) dan MASTER
(Malang) Bahkan Senior saya dari Teater Awal (Bandung) pun sering mengadakan
sesi-sesi diskusi kecil di tempat yang katanya "Dunia Ketiga" ini .
Juga Diskusi-diskusi ini secara “lepas” dilakukan pula oleh komunitas-komunitas
lain, terutama oleh seniman Sastra Lokal .
Pemanfaatan ruang coffee shop sebagai sebuah ruang diskusi
teater tentu memberikan perubahan suasana yang menyenangkan. Terutama dalam
kondisi minimnya ruang publik kesenian seperti gedung pertunjukan, kemunculan
coffee shop tentu menjadi alternatif yang menguntungkan. Beberapa diskusi
bahkan didukung pula oleh pemilik kafe.
Ketersediaan fasilitas coffee shop seperti wifi tentu saja
memiliki dua dimensi; kemudahan akses informasi atau godaan untuk game. Itulah
persoalan yang penting dikritisi. Seniman-seniman teater banyak menyerbu coffee
shop hanya untuk mendapatkan akses pada game. Hal ini kontraproduktif.
Setidaknya itu yang sering nampak akhir-akhir ini. Kalaupun ada obrolan,
seringkali yang menjadi topik pembicaraannya bukanlah isu-isu kesenian yang
sedang hangat, tapi seringkali hanya persoalan yang remeh.
Memang masih ada komunitas-komunitas teater yang terus
melakukan diskusi-diskusi mengenai teater, tapi kecenderungan untuk
“memindahkan diklat” juga besar. Seringkali senior-sesepuh teater dalam forum
itu berperan seperti empu-empu suci yang hanya memberikan petuah satu arah.
Ruang kelas hanya dipindahkan ke coffee shop. Pola diskusi hirarkis ini rasanya
sudah tidak perlu dilakukan. Pola diskusi tanpa poros perlu dilakukan sebagai
cara untuk keluar dari hirarki guru-murid, tapi semua orang yang terlibat dalam
diskusi adalah narasumber. Formalisme
dalam dunia seni hanya akan membuatnya mandul.
Kalaupun ada diksusi dengan tema yang konstruktif (bukan
sekedar memindahkan materi diklat teater), seringkali hanya membentur tembok
coffee shop. Ide-ide kreatif membentur kemalasan, dan akhirnya kalah.
Keterbatasan personil, fasilitas dan pendanaan yang membuat seakan kemalasan
itu menjadi pseudo-benar. Tapi sejatinya itu jelas sebuah kesalahan. Ide-ide
kreatif, yang telah didorong oleh kafein, tetap harus dibuktikan. Itulah bentuk
eksistensi seniman. Sebab bicara hanya urusan pembual.
Membincangkan teater di ruang publik seperti coffee shop
harusnya dipandang sebagai sebuah usaha untuk mengenalkan teater ke publik
ramai. Pengenalan inilah yang selama ini diabaikan oleh seniman teater. Mereka
cenderung “introvert” dan merasa eksklusif. Padahal upaya memuji-muji kehebatan
karya seninya itu sejatinya adalah upaya melipur lara kesepiannya. Pertumbuhan
jumlah penonton teater cenderung sangat lambat sehingga sama sekali tidak
menarik bagi pihak lain untuk membantu, misalnya dalam pendanaan. Pertemuan
antara seniman teater dengan khalayak umum, termasuk calon penonton, calon
investor/sponsor dan pihak pemerintah di ruang coffee shop tentu harus
dimanfaatkan dengan optimal untuk perkembangan teater itu sendiri. Kesempatan
ini tentu hanya omong-kosong bagi seniman teater yang ke coffee shop hanya
untuk mencari wifi dan diskusi yang remeh-temeh.
Maka, aktivitas ngopi sebagai sebuah pertunjukan teater
perlu kita perindah dengan adegan-adegan kesuksesan teater untuk kembali
menjadi primadona di tengah masyarakat. Kecuali, bila teater diisi oleh para
pemalas dan pecandu game saja.
Bandung (Coffe Sufi), 19 Oktober 2019
REFERENSI
[i] Lindsey Goodwin. 2019. The Origin of Coffee.
https://www.thespruceeats.com/the-origin-of-coffee-765180
[ii] Eugene Y. Chana & Sam J. Magliob. 2019. Coffee cues
elevate arousal and reduce level of construal. Consciousness and Cognition 70:
57–69.
[iii] May A. Beydoun, Alyssa A. Gamaldo, Hind A. Beydoun,
Toshiko Tanaka, Katherine L. Tucker, Sameera A. Talegawkar, Luigi Ferrucci, dan
Alan B. Zonderman. 2014. Caffeine and Alcohol Intakes and Overall Nutrient
Adequacy Are Associated with Longitudinal Cognitive Performance among U.S.
Adults1–3. The Journal of Nutrition Nutritional Epidemiology: 890-901.
https://academic.oup.com/jn/article-abstract/144/6/890/4615979
[iv] Ringkang Gumiwang. 2018. Ramai-ramai Merambah Bisnis
Kedai Kopi. https://tirto.id/cHPS
[v] Fenomena ‘Demam’ Coffee Shop di Indonesia.
https://kumparan.com/@kumparanfood/fenomena-mewabahnya-demam-coffee-shop-di-indonesia
[vi] Daniel Ochoa. 2016. Can Coffee Boost Creativity?
http://www.brainrewired.com/can-coffee-boost-creativity/
[vii] Kopi Keling. 2014. Les Deux Magots – Dari Sartre Hingga
Picasso.
http://kopikeliling.com/news/cafe-les-deux-magots-dari-sartre-hingga-picasso.html
[viii] Grzegorz Micek. 2016. Understanding Innovation in
Emerging Economic Spaces: Global and Local Actors, Networks and Embeddedness.
Routledge. New York.
Tidak ada komentar: