"Semoga senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan"

Syekh Siti Jenar - dalam rangka Festival Teater Cirebon

November 20, 2019
Foto Pementasan Syekh Siti Jenar
Pementasan Syeh Siti Jenar - Teater Awal Bandung


Menurut Yayan Katho, dalam naskah Syekh Siti Jenar berpandangan tentang cara berpikir beragama dengan lebih cerdas, jadi beragamalah dengan cerdas, bukan beragama dengan cara ikut mengikuti, Siti Jenar menemukan hal dari setiap pribadi secara spritual dalam dirinya di proses beribadah, berangkat dari itu dan berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di naskah Siti Jenar, hal ini masih kontekstual dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat pada saat itu.
Bahkan bisa jadi pemahaman dengan cara beragama kita, bisa tidak diterima oleh orang lain tapi itu juga tidak boleh disebarluaskan, karena harus ada cara beragama yang biasa saja,dan ada hal spiritual yang ga boleh diungkap, itu hanya milik hambanya dan khaliqnya, yang terjadi pada masa itu, pada naskah itu dibuat atau digarap kembali yaitu ada acara beragama yang berlebihan, kritisi Jenar disitu, Jenar juga sebenarnya tidak mau mengungkapkan itu dan ada hal lain juga yang mempengaruhi yaitu ada hal yang sifatnya politis, penguasa yang bergerak membuat pikiran pikiran jenar di dramatisir sehingga harus dilumpuhkan,  dan disingkirkan, kritisi ini pada pribadi jenar dan pada sosok penguasa, kalau dilihat konteks hari ini juga ya seperti itu, bisa jadi hari ini kebenaran pribadi akan dihancurkan oleh penguasa, demi kepentingan penguasa, jadi saya pikir naskah Jenar ini masih sangat kontekstual untuk digarap karena memang sebagai sebuah catatan sejarah, jadi pelaku garapan yang terlibat pada proses naskah itu, mencoba untuk banyak mengenal sejarah, membaca sejarah  pemikiran pemikiran Siti Jenar, terus akhirnya pengetahuan itu bertambah dan konteksnya masih bisa kita gunakan bersama.Naskah ini utuh digarap, tidak ada perubahan sama sekali.
Bahkan pada naskah Siti Jenar ini ada hal yang sangat menarik yaitu, kalau dibuka dihalaman pertama pada naskah Saini K.M, dia membuat pengantar “bahwa ini adalah peristiwa yang bisa jadi kebenaranya milik semua orang, naskah ini dibangun hanya kepentingan dramatik saja”,  begitu sangat cerdasnya Saini K.M untuk menjaga bahwa memang perjalanan naskah Siti Jenar, begitu banyak versi sehingga Saini K.M membuat batasan, dan menjelaskan kepada semua orang bahwa karya sastranya ini hanya dibuat untuk kepentingan dramatik saja, tidak ada hal lainya.  
Dalam ruang lingkup diluar naskah Syekh Siti Jenar adalah sosok kontroversial dalam dunia mistik Islam dan Kejawen. Selain karena ajaran manunggaling kawula gusti-nya, ikhwal asal-usul dan nasabnya masih diperdebatkan hingga sekarang.
Syekh Siti Jenar  lahir sekitar 829 H/1348 Caka/1426 H di lingkungan Pakuwuan, Caruban, pusat kota Caruban yang sekarang dikenal dengan Astana Japura, sebelah tenggara Kota Cirebon. Di luar kelahirannya tersebut, riwayat kematiannya juga kontroversial. Berikut beberapa versi kematian Syekh Siti Jenar yang dirangkum dan didapatkan dari sumber media  Suaramerdeka.com.
Versi pertama,  meninggalnya Siti Jenar karena dihukum mati oleh Sultan Demak, yaitu Raden Patah, atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, dan eksekusi hukuman dilaksanakan di alun-alun Kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada Serat Syeikh Siti Jenar yang ditulis Ki Sosrowidjojo.
Versi kedua, Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Sebagai algojo atau pelaksana hukuman adalah Sunan Gunung Jati. Eksekusi dilakukan di Masjid Ciptarasa, Cirebon. Jenazahnya dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, lalu dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Riwayat ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 karya Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana.
Versi ketiga, Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan sebagai algojo hukuman mati adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat ini menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga.
Versi keempat, Syekh Siti Jenar meninggal karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan Sunan Giri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut Babad Demak, Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri (karena dengan kesaktiannya, ia dapat menemui ajalnya), tetapi ia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan ke badannya hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.
Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga.
Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan. Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga ditulis dalam Babad Tanah Jawa yang disadur S,Santoso, dengan versi sedikit berbeda.
Versi kelima, vonis hukuman Syekh Siti Jenar dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankannya adalah Sunan Kudus. Kematian Syekh Siti Jenar versi ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi suntingan Rahman Selendraningrat. Kisah ini diduga bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan Sunan Kudus.
Versi keenam, Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saat hukuman mati harus dilakukan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk mengeksekusi. Namun hukuman tak jadi dilakukan karena Syekh Siti Jenar memilih cara kematiannya sendiri dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa dihukum pihak sultan dan para sunan.
Ia ingin menemui ajalnya seperti yang telah ditetapkan Allah. Versi ini mengacu pada Serat Syekh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, dan disebarkan oleh Abdul Munir Mulkan.
Versi ketujuh, ada dua orang yang sama-sama menaruh dendam pada Syekh Siti Jenar. Kedua orang ini memiliki nama yang mirip dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Pertama, Hasan Ali (Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi) yang diusir dari keraton karena kedurhakaannya kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya pada Cirebon. Ia dendam pada Syekh Siti Jenar karena berhasil menjadi guru suci utama di Giri Amparan Jati.Yang kedua, San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, teman seperguruan Syekh Siti Jenar. San Ali Anshar juga dendam kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam ilmu dan kerohanian. Kedua orang ini lalu berkeliling Jawa sambil mengaku murid Syekh Siti Jenar.
Mereka memasukkan ajaran mistik. Bahkan lama kelamaan Hasan Ali mengaku sebagai Syekh Lemah Abang, sementara San Ali Anshar mengaku sebagai Syekh Siti Jenar. Menurut versi ini, mereka berdualah yang sebenarnya dieksekusi Wali Songo karena sudah melancarkan fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar.
Jadi begitu nampak sekali , banyak versi Syekh Siti Jenar yang ada, dengan kesantunan Saini K.M dalam menullis dan kecerdasan dalam menjaga etika kepenulisannya, akhirnya beliau membuat pengantar itu dengan jelas untuk membuat naskah yang begitu baik dalam penyajian konflik dramatiknya.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.