"Semoga senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan"

SAKIT - Sipit Najib | Sebuah Opini dan Pemikiran

April 30, 2020
Sakit - Sipit Najib

Jika diantara kita ada yang sedang sakit panas, mungkin bisalah berkaca dari Ibrahim. Kalau stress bisa berkiblat kepada Ayyub. Soal-soal pencernaan atau jeroan, bisalah kita sedikit mengalihkan perhatian ke Muhammad. Atau, banyak percampuran carut dan marutya wadak kita yang bersumber dari putusnya hubungan antara manusia modern dan manajemen cinta serta kesehatan kita bisa nemplok ke model Isa dan Daud.

Adapun yang paling gampang, tentu saja kalau kita terkena tenung, pelet bahkan santet sekalipun. Lebih gampang lagi, apabila seorang pasien mampu untuk mengamini bahwa dia bukanlah pasien, melainkan dokter atau dukun atas dirinya sendiri yang punya otoritas penuh kepada jiwa dan raganya dibanding makhluk manapun di muka bumi ini. 

Di dalam segala filosofi ilmu kesehatan, kesembuhan, dan bahkan ketabiban, dapat kita katakan bahwa pihak pertama adalah Allah dan pihak kedua si penderita; sedangkan dokter, suster, atau bahkan Mas Dukun yang tak lebih dari pihak ketiga, yang tidak dimiliki oleh hampir semua orang yang pada keadaan tertentu berbondong-bondong mendaftarkan dirinya menjadi pasien yang membuat seorang pelayan disebut dokter, seorang pembantu disebut suster, dan seorang buruh disebut Mas dukun ini tadi.

Makhluk yang bernama kesembuhan, kekuatan dan kesehatan. Telah diklaim dan dikapling sebagai milik khusus dan hak khusus serta otoritas khusus para dokter, suster, dan dukun. Makhluk ini menjadi komoditi dunia profesional, sementara masyarakat atau kita ini sendiri tak lebih dari konsumen dari komoditi itu. 

Padahal, produsen utama dari kesembuhan, kekuatan dan kesehatan pada hakikatnya adalah orang yang sedang “bercinta” oleh penyakit itu sendiri. Adapun “Produsen Agung”-Nya tentu saja Allah sang pemilik segala ‘arsy dan segala rebo-rebonya.

Terus terang saja itulah yang secara terus-menerus menjadi bahan pusingnya kepala Mas Dukun. Orang memandangnya sebagai juru sehat: orang berdatangan untuk masrah awak sambil melontarkan kalimat penyekutu Tuhan: “Saya yakin hanya Mas Dukun yang bisa menyembuhkan saya” Gampang sekali orang menomorsatukan yang nomor dua. Gampang sekali orang menuhankan yang bukan Tuhan.

Kalau masalah yang disodorkan oleh seseorang itu bersifat praktis—misal-nya, penyakit fisik ala kadarnya atau pelet atau semacam kelebonan— Mas Dukun bisa tanpa banyak bacot langsung mengatasinya.
Tapi, kalau yang disodorkan kepadanya adalah efek dari penyakit-penyakit sosial, disinformasi tentang pemahaman-pemahaman hidup, atau mungkin salah kuda-kuda mental, intelektual atau spiritual, maka Mas Dukun harus mereformasikan berbagai mismanagement tatanan nilai dalam dunia kesadaran dan kebawahsadaran orang tersebut.

Penyakit-penyakit semacam ini bukan main kompleks, luas, dan njlimetnya. Ada beberapa orang yang memang tak sanggup lagi untuk memahami apa yang ditanggungnya. Apa yang menjadi problematikanya, Apa yang sedang dihadapi dan apa yang harus dia lakukan. Terlebih lagi merumuskan keruwetan-keruwetannya. Kebiasaan yang akan senantiasa diambil hanyalah menatap semacam kegelapan. Dan kegelapan itu adalah dirinya sendiri: dirinya gelap, sementara mripat pandangannya juga buta sedemikian rupa.

Terkadang juga tidak sedikit anak-anak muda mendatangi Mas Dukun untuk menyodorkan sesuatu yang sesungguhnya sama sekali bukan problem. Dia berkata tentang buntu, kosong, bingung, deppressed, tetapi setelah dicari bersama apa itu gerangan, nyatalah bahwa faktor-faktor itu sebenarnya tidak cukup potensial untuk menindas mental mereka apabila saja terlatih untuk mendayagunakan akal sehat dan pengetahuan tentang pemahaman-pemahaman nilai kehidupan.

Seorang anak kuliahan pernah mendatangi Mas Dukun dia nampak muda gagah ganteng, datang untuk mengungkapkan kebingungannya dan menangis, merasa buntu atas permasalahannnya. Segala yang pernah dia punya sekarang pergi begitu saja entah kemana dan menyimpulkan semua yang terjadi kepada dia adalah hanya karena dulu orangtuanya kaya  dan sekarang melarat, sehingga dia tak bisa kuliah. Itu bukan problem. Itu keringkihan!

img src: unsplash

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.