"Semoga senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan"

KOPI, NGOPI DAN TEATER KITA HARI INI - Jon Fakir

Mei 13, 2020
KOPI, NGOPI DAN TEATER KITA HARI INI - Jon Fakir


KOPI
Asal-usul kopi masih menjadi perdebatan. Sebagian menyebutkan bahwa kopi berasal dari Etiopia, sebagian lagi percaya bahwa kopi berasal dari Yaman. Setiap daerah memiliki mitos dan legenda kopi masing-masing.
Dalam legenda Etiopia, kopi pertama ditemukan oleh seorang penggembala kambing—bernama Kaldi—yang kebetulan menemukan semak yang menghasilkan buah berwarna merah. Buah tersebut dipercaya mampu memberikan efek penambah tenaga. Biji buah tersebut kemudian diberikan pada seorang biarawan. Pemberian ini tidak disambut dengan baik, malah dibalas dengan hinaan. Tapi aroma hasil sangrai bijih buah itu mampu menarik perhatian sang biarawan, dan dianggap mampu mendukung prosesi doa karena membuat mereka tetap terjaga[i].

Sementara oleh masyarakat Yaman, kopi dipercaya merupakan hasil penemuan tokoh sufi bernama Ghothul Akbar Nooruddin Abu al-Hasan al-Shadhili. Al-Shadhili mengamati seekor burung yang tenaganya bertambah akibat memakan buah bunn. Sang sufi kemudian mencobanya dan menemuka efek yang sama. Dalam legenda Yaman lain tanaman kopi ditemukan oleh Sheikh Omari.

Efek kopi dalam kedua legenda tersebut ternyata didukung pula oleh hasil studi ilmiah. Kopi diketahui mampu meningkatkan laju detak jantung, meningkatkan perhatian, pemikiran dan aktivitas[ii]. Dalam studi yang dirilis dalam The Journal of Nutrition Nutritional Epidemiology, diketahui bahwa kafein—zat yang terkandung dalam kopi—mampu meningkatkan kemampuan kognitif global, memori verbal dan meningkatkan perhatian[iii]. Kemampuan kognitif global adalah kemampuan manusia dalam berfikir secara kritis, menggunakannya secara efektif dan tajam. Sementara memori verbal adalah memori yang berkaitan dengan kemampuan psikologis dalam mengelola kata dan Bahasa.

NGOPI
Sebenarnya kata Ngopi tidaklah tepat, sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang tepat untuk menunjukkan aktivitas meminum kopi adalah mengopi. Tapi bukankah Bahasa sangat longgar dan berkembang sesuai dengan perkembangan perilaku berbahasa kita? Maka kita lupakan saja sejenak kesalahan jamak itu.

Maka bagi para pengopi—penggemar kopi—akhir-akhir ini merupakan surga. Warung-kafe kopi menjamur di hampir semua daerah, baik itu di kota besar maupun kecil. Hal itu bisa diduga—sedikit atau banyak—merupakan efek dari box officenya film Filosofi Kopi. Selain permintaan kopi yang tinggi, daya tarik bisnis kedai kopi juga didorong dari margin keuntungan yang cukup besar. Rata-rata margin keuntungan dari kedai kopi mencapai 35-40 persen dari total penjualan. Sementara tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia terus meningkat. Pada pada tahun 2017 konsumsi kopi sekitar 1,2 kg per kapita, sedangkan pada tahun 2018 meningkat menjadi sekitar 1,4-1,5 kg per kapita[iv].

Dulu, minum kopi hanya dilakukan secara sederhana, hanya dengan menyeduh kopi bubuk dengan air panas saja. Lalu muncul kebiasaan menikmati kopi baru dengan Teknik pengolahan dan penyajian kopi yang sangat beragam sambil bercengkrama bersama kawan di warung kopi, dan kini kebiasaan tersebut telah naik tingkat, dengan menyesap sajian kopi yang diracik oleh barista di coffee shop. Coffee shop didesain dengan dekorasi yang menarik dan instagramable serta membuat pembelinya merasa nyaman seakan di rumah. Bahkan, tak jarang banyak yang berkunjung ke coffee shop untuk menyelesaikan pekerjaan, karena kedai kopi dirasa mampu meningkatkan produktivitas[v].

Hubungan kopi dan kreativitas cukup erat. Voltaire—penulis besar Perancis—diketahui meminum kopi sekitar 50 gelas per hari. Honore de Balzac—novelis dan penulis naskah drama Perancis—meminum sebanyak 50 gelas kopi selama 14 jam proses penulisannya per hari. Balzac mengklaim bahwa kopi dibutuhkan dalam proses penulisannya[vi]. Beberapa tokoh lain yang juga merupakan penyandu kopi adalah Beethoven, Sartre dan Mahler.

Bahkan di Paris, Perancis ada satu kafe yang sangat terkenal sebagai tempat kreatif seniman-seniman besar, yaitu Les Deux Magots. Jean Paul Sartre dan Simone De Beauvoir sering menghabiskan waktu di kafe tersebut sambil menikmati kopi. Mereka sering berdiskusi tentang isu-isu eksistensialis atau isu-isu hangat saat itu. Bahkan katanya dua orang ini sampai punya meja atau spot khusus yang mereka gunakan untuk menulis setiap hari. Di sana juga sesekali Sartre bertemu dengan Ernest Hemmingway dan berbincang dengannya. Tokoh lain diantara adalah Albert Camus—penulis The Myth of Sisyphus—, Boris Vian, James Joyce, Bertold Brecht—tokoh teater epik—, Stefan Sweig Verlaine, Rimbaud, Mallarmé, dan Picasso sering mengunjungi kafe tersebut. Picasso bahkan disebut-sebut membuat kubisme di tempat tersebut[vii].

TEATER KITA HARI INI

Coffee shop sekarang ini adalah sebuah teater sosial. “Dunia ketiga” yang merupakan tempat lain selain rumah dan tempat kerja (Sanggar/Sekretariat) tempat realitas sosial berlangsung. Terjadi peningkatan jumlah pemanfaatan coffee shop untuk perkantoran dan aktivitas kreatif. Hal ini merupakan akibat dari penambahan dekorasi yang menarik dan fasilitas internet gratis melalui wifi yang memberikan dukungan pada konektvitas melampaui dinding kafe[viii].
Kehidupan teater—mungkin juga seni secara umum—memang sejak dulu sangat dekat dengan kopi. Setiap aktivitas teater selalu ada kopi.
Rapat-rapat produksi maupun artistik, juga sekedar berbincang mengenai isu-isu kesenian terkini juga semakin meningkat intensitasnya di warung kopi. Diskusi-diskusi tematik mulai digelar di beberapa kota, misalnya Sinau Teater (Malang), Demam Teater (Surabaya) dan MASTER (Malang) Bahkan Senior saya dari Teater Awal (Bandung) pun sering mengadakan sesi-sesi diskusi kecil di tempat yang katanya "Dunia Ketiga" ini . Juga Diskusi-diskusi ini secara “lepas” dilakukan pula oleh komunitas-komunitas lain, terutama oleh seniman Sastra Lokal .
Pemanfaatan ruang coffee shop sebagai sebuah ruang diskusi teater tentu memberikan perubahan suasana yang menyenangkan. Terutama dalam kondisi minimnya ruang publik kesenian seperti gedung pertunjukan, kemunculan coffee shop tentu menjadi alternatif yang menguntungkan. Beberapa diskusi bahkan didukung pula oleh pemilik kafe.
Ketersediaan fasilitas coffee shop seperti wifi tentu saja memiliki dua dimensi; kemudahan akses informasi atau godaan untuk game. Itulah persoalan yang penting dikritisi. Seniman-seniman teater banyak menyerbu coffee shop hanya untuk mendapatkan akses pada game. Hal ini kontraproduktif. Setidaknya itu yang sering nampak akhir-akhir ini. Kalaupun ada obrolan, seringkali yang menjadi topik pembicaraannya bukanlah isu-isu kesenian yang sedang hangat, tapi seringkali hanya persoalan yang remeh.
Memang masih ada komunitas-komunitas teater yang terus melakukan diskusi-diskusi mengenai teater, tapi kecenderungan untuk “memindahkan diklat” juga besar. Seringkali senior-sesepuh teater dalam forum itu berperan seperti empu-empu suci yang hanya memberikan petuah satu arah. Ruang kelas hanya dipindahkan ke coffee shop. Pola diskusi hirarkis ini rasanya sudah tidak perlu dilakukan. Pola diskusi tanpa poros perlu dilakukan sebagai cara untuk keluar dari hirarki guru-murid, tapi semua orang yang terlibat dalam diskusi adalah narasumber.  Formalisme dalam dunia seni hanya akan membuatnya mandul.
Kalaupun ada diksusi dengan tema yang konstruktif (bukan sekedar memindahkan materi diklat teater), seringkali hanya membentur tembok coffee shop. Ide-ide kreatif membentur kemalasan, dan akhirnya kalah. Keterbatasan personil, fasilitas dan pendanaan yang membuat seakan kemalasan itu menjadi pseudo­-benar. Tapi sejatinya itu jelas sebuah kesalahan. Ide-ide kreatif, yang telah didorong oleh kafein, tetap harus dibuktikan. Itulah bentuk eksistensi seniman. Sebab bicara hanya urusan pembual.
Membincangkan teater di ruang publik seperti coffee shop harusnya dipandang sebagai sebuah usaha untuk mengenalkan teater ke publik ramai. Pengenalan inilah yang selama ini diabaikan oleh seniman teater. Mereka cenderung “introvert” dan merasa eksklusif. Padahal upaya memuji-muji kehebatan karya seninya itu sejatinya adalah upaya melipur lara kesepiannya. Pertumbuhan jumlah penonton teater cenderung sangat lambat sehingga sama sekali tidak menarik bagi pihak lain untuk membantu, misalnya dalam pendanaan. Pertemuan antara seniman teater dengan khalayak umum, termasuk calon penonton, calon investor/sponsor dan pihak pemerintah di ruang coffee shop tentu harus dimanfaatkan dengan optimal untuk perkembangan teater itu sendiri. Kesempatan ini tentu hanya omong-kosong bagi seniman teater yang ke coffee shop hanya untuk mencari wifi dan diskusi yang remeh-temeh.
Maka, aktivitas ngopi sebagai sebuah pertunjukan teater perlu kita perindah dengan adegan-adegan kesuksesan teater untuk kembali menjadi primadona di tengah masyarakat. Kecuali, bila teater diisi oleh para pemalas dan pecandu game saja.

Bandung (Coffe Sufi), 19 Oktober 2019

REFERENSI

[i] Lindsey Goodwin. 2019. The Origin of Coffee. https://www.thespruceeats.com/the-origin-of-coffee-765180
[ii] Eugene Y. Chana & Sam J. Magliob. 2019. Coffee cues elevate arousal and reduce level of construal. Consciousness and Cognition 70: 57–69.
[iii] May A. Beydoun, Alyssa A. Gamaldo, Hind A. Beydoun, Toshiko Tanaka, Katherine L. Tucker, Sameera A. Talegawkar, Luigi Ferrucci, dan Alan B. Zonderman. 2014. Caffeine and Alcohol Intakes and Overall Nutrient Adequacy Are Associated with Longitudinal Cognitive Performance among U.S. Adults1–3. The Journal of Nutrition Nutritional Epidemiology: 890-901. https://academic.oup.com/jn/article-abstract/144/6/890/4615979
[iv] Ringkang Gumiwang. 2018. Ramai-ramai Merambah Bisnis Kedai Kopi. https://tirto.id/cHPS
[v] Fenomena ‘Demam’ Coffee Shop di Indonesia. https://kumparan.com/@kumparanfood/fenomena-mewabahnya-demam-coffee-shop-di-indonesia
[vi] Daniel Ochoa. 2016. Can Coffee Boost Creativity? http://www.brainrewired.com/can-coffee-boost-creativity/
[vii] Kopi Keling. 2014. Les Deux Magots – Dari Sartre Hingga Picasso. http://kopikeliling.com/news/cafe-les-deux-magots-dari-sartre-hingga-picasso.html
[viii] Grzegorz Micek. 2016. Understanding Innovation in Emerging Economic Spaces: Global and Local Actors, Networks and Embeddedness. Routledge. New York.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.