"Semoga senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan"

Refleksi tentang Horor dalam Purgatory Karya WB Yeats (1865-1939) - Rosida Erowati

Februari 06, 2022
Pementasan Purgatory Teater Awal Bandung


Pentas keliling Teater Awal Bandung yang dimulai 5 Februari 2022 kemarin mengangkat naskah Purgatory karya William Butler Yeats yang diadaptasi oleh Suyatna Anirun. Para aktor Teater Awal yang memainkan peran orang tua dan anak membawakan penampilan terbaik mereka untuk mengajak audiens (dalam jumlah terbatas) untuk memahami drama puitik ini. Penampilan yang didukung oleh artistik panggung yang sugestif, juga tata suara yang menyatu dengan atmosfer cerita. 


Aula Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sore kemarin sore beraura misteri berkat pentas Purgatory. Horor yang dapat diartikan rasa takut memang menyelimuti perasaan penonton. Takut, tegang, merupakan sugesti yang dimunculkan dari skene ke skene yang disajikan oleh pentas ini. Pentas dibuka dengan tiga frame layar yang mengesankan sejajar, mempertontonkan adegan pembunuhan orang tua oleh anaknya, didukung oleh suasana sugestif yang menandai adanya kemarahan, ketakutan, horor.


Dalam Purgatory, Yeats pertama kalinya mengumumkan pengakuannya tentang bagaimana ia memandang kematian dan pengaruhnya pada kehidupan. Sebagai pengarang beraliran naturalisme, problematika dualisme tubuh dan jiwa manusia mendominasi pencarian tematik dan estetik Yeats selama bertahun-tahun. Sang peraih Nobel pada tahun 1923 ini diakui sebagai sastrawan yang konsisten berinovasi dalam kepengarangan seumur hidupnya. Bagian dari inovasi Yeats adalah masuknya pengaruh Nõ (Noh), teater tradisi Jepang, dalam Purgatory. Pertunjukan Purgatory ditampilkan pertama kalinya pada 19 Agustus 1938, beberapa bulan sebelum kematian Yeats, di Abbey Theater, Dublin, yang didirikan Yeats bersama beberapa sastrawan Irlandia lainnya.


Pementasan Purgatory Teater Awal bandung


Purgatory, atau tempat penyucian, dimaknai sebagai alam barzakh oleh Suyatna Anirun, merupakan bagian dari kisah-kisah biblikal. Yeats mengambil gagasan dari konsepsi Kristen dan mitologi Irlandia tentang kehidupan sesudah mati. Meski naskah ini dikritik karena kurang tepat memaknai penyucian dalam konsepsi Katolik, namun penyandingan dengan alam barzakh (tempat tinggal sementara arwah dan tempat menimbang amaliyah manusia ri masa hidupnya) menunjukkan bahwa konsepsi kehidupan setelah mati harus melalui proses pemurnian/penyucian. Dosa yang disucikan dalam Purgatory adalah dosa nafsu dalam pernikahan. Pernikahan dalam konsepsi religius merupakan penyatuan dua orang yang saling mencintai, bukan berdasarkan  nafsu lahiriah semata. Di sini lah permasalahan bermula. Ayah dan ibu sang tokoh Orang Tua mengawali malam pernikahan mereka dengan nafsu, sehingga terlahirlah Orang Tua. Dosa ini menimbulkan konsekuensi panjang: menghantui ibu hingga ia mati dengan penyesalan, membuat sang anak membunuh ayahnya karena membuat ibunya mati sengsara. Seumur hidupnya, tokoh Orang Tua mengenang malam pernikahan ibunya sebagai kenangan kelam yang juga ia sesali. Rumah yang ia tempati menjadi tempat terkutuk yang menciptakan horor bagi penghuninya. Tempat arwah yang menyesal, padahal di masa lalu, rumah itu menjadi bagian dari perubahan karena di situ terlahir orang-orang dari berbagai profesi yang turut membangun negara (Irlandia). Degradasi kehidupan sebagai konsekuensi dari degradasi moral. Pada titik ini, masa depan, masa kini, dan masa lalu menyatu dalam satu atmosfer: horor. Obsesi pada penyesalan beranjak menjadi dialog tak berujung dengan putranya, si anak muda, yang ingin lepas dari semua horor itu. Tanpa diduga, dikuasai oleh obsesi dan horor, sang ayah membunuh anaknya untuk menghentikan lingkaran setan yang diciptakannya sendiri. 


Pementasan Purgatory Teater Awal Bandung


Mengangkat naskah Purgatory di tengah situasi pandemi tentunya menantang bagi Teater Awal, juga bagi audiens. Tontonan apik di masa pandemi tentu perlu menawarkan ruang refleksi yang dapat dijangkarkan pada pengalaman manusia menghadapi ketakutan di masa pandemi. Horor menghadang umat manusia setiap harinya dengan berbagai ancaman, mulai virus corona atau virus mematikan lainnya, beragam tragedi—kecelakaan saat berkendara, pembunuhan, perogolan, penundungan— dan bencana alam. Apa kebijaksanaan atau bahasa klisenya, hikmah, yang dapat ditarik dari naskah ini? Yeats menunjukkan dalam naskah ini bahwa upaya orang tua dengan membunuh anaknya, toh tak menghentikan ketersiksaan yang dialami arwah ibunya. Akhir pentas ini sebaiknya menjadi awal untuk membuka dialog bagaimana menghadapi horor yang mengepung kehidupan kita saat ini.


-6/2/2022-

Rosida Erowati, pengajar Kajian Drama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.