"Semoga senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan"

Tinta Merah pada Catatan 65

September 30, 2022
Dalam rangka memperingati peristiwa G30S, Teater Awal Bandung menyelenggarakan sebuah ruang dialog berjudul Tinta Merah pada Catatan 65.



Pembahasan mengenai materi pertama yang dimoderatori oleh Bagus Falensky dan disampaikan oleh Ilyas Mate, seorang Art Director, yang juga merupakan anggota Teater Awal Bandung.


Pada pembahasan awal ini Ilyas menyinggung dan membahas sedikit banyaknya mengenai peristiwa yang terjadi dalam jangka 1965-1967, yang mana peristiwa tersebut juga menjadi peristiwa yang disinggung dalam naskahnya yang berjudul "Mencari Jalan Waska: Angkara Murka", disamping naskah Topeng-topeng karya Rachman Sabur yang menjadi pantikan dan inspirasi dari pembuatan naskah Angkara Murka itu.


Naskah yang berlatar di tahun 65 ini menceritakan seorang tokoh yang terkena dampak para peristiwa kerusuhan tersebut. Yang berpengaruh pada psikis dan laku sosialnya. Meskipun peristiwa yang diangkat mengambil sudut pandang dari realitas yang kecil namun peristiwa dan dampaknya sangat besar.


Materi bersambung pada pembahasan kedua yang dipaparkan oleh Vini Zulva, seorang aktivis perempuan yang juga memiliki fokus kajian dan pergerakan pada permasalahan perempuan ini membahas peristiwa G30S-PKI yang tak sedikit mengandung berbagai pelanggaran HAM terutama pada perempuan.


Vini memaparkan banyak sekali bentuk pelanggaran HAM yang mana bentuk-bentuk pelanggaran tersebut juga telah tercantum dalam Undang-Undang. Beliau menyebutkan bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi pada peristiwa 65 dan pasca peristiwa tersebut diantaranya pembunuhan, yang di singgung dalam Undang-undang pasal 9A, pemusnahan, pada pasal 9B, perbudakan, pada pasal 9C, pengusiran dan atau pemindahan paksa, pada Pasal 9D, perampasan kemerdekaan, pada Pasal 9E, penyiksaan, pada Pasal 9F, perkosaan/pelecehan seksual dan lainnya, pada Pasal 9G, penganiayaan, pada Pasal 9H, dan penghilangan orang secara paksa, pada Pasal 9I.


Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi juga bukan tanpa bukti. Sebab data pelanggaran pada perempuan sendiri diterlusuri dan didapat dari kesaksian kurang lebih 122 penyintas.


Pelanggaran semacam ini tidak bisa diacuhkan begitu saja, sebab banyak sekali dampak yang dialami penyintas setelahnya.
Diantara dampak tersebut yaitu Traumatik yang akan tertanam pada jiwa penyintas akibat peristiwa itu, Stigma yang kuat dari masyarakat kepada penyintas maupun keluarga penyintas yang mana hal ini bisa menimbulkan terjadinya diskriminasi bagi penyintas, lalu merambat pada kesulitas ekonomi, serta terjadinya kemunduran gerakan perempuan.


Bagaimanapun, masyarakat kita saat ini masih banyak sekali menganut faham patriarki dimana perempuan masih saja dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan baik dari segi psikis maupun fisiknya. Tentu ini menjadi perhatian khusus bagi kaum intelek agar dapat menghilangkan stereotif dari argumen tersebut demi mengurangi kekerasan dan pelanggaran HAM yang seringkali dialami oleh kaum perempuan.


Setelah pemaparan mengenai peristiwa G30S serta dampak yang terjadi akibat peristiwa itu, materi terakhir disampaikan oleh Buli-Ju, seorang Creative Director dan Contwers. Namun menariknya pada pembahasan ketiga yang sekaligus menjadi pembahasan terakhir pada ruang dialog tinta merah pada catatan 65 ini, Buli-Ju selaku pemateri justru mengambil bagian dan sudut pandang peristiwa tersebut pada wilayah seni dan kebudayaannya, terkhusus mengenai film G30S-PKI.


Berdasarkan pengetahuannya, peristiwa dibalik pembuatan film yang di garap oleh Arifin C. Noer ini terdapat sebuah cerita menarik dimana muridnya Arifin pernah bertanya pada Arifin mengenai naskah film itu, dan Arifin membawa dia ke sebuah tempat dimana terdapat naskah aslinya berada. Judul aslinya bukan G30S tetapi Sejarah Orde Baru yang menceritakan mengenai perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno menuju Presiden Soeharto.


Hal unik juga terjadi pada peristiwa naskahnya, seperti pada pola revisi post-produksi yang kepalai Pak Soeharto, dimana tim Art harus menyerahkan beberapa file ke istana. Untuk selanjutnha direvisi dan disesuaikan dengan kehendak beliau. Sehingga dalam proses produksi filmnya pun cukup molor. Mungkin hal itu juga tidak jadi masalah bagi mereka sebab biaya produksinya pun menggunakan pajak negara.


Kita tidak pernah tau kebenaran dibalik cerita yang ada pada film tersebut, meskipun begitu sebuah sistem yang cukup cerdas ketika propaganda dilakukan melalui film, sebab tidak ada cara lain untuk mengefisiensikan komunikasi selain melalui film. Di rusia sendiri untuk melakukan sebuah propaganda melalui film dirasa menjadi cara yang cukup efektif. Maka mungkin berdasar pada hal tersebut,Soeharto bersama rekannya memutuskan untuk memproduksi film itu, film yang wajib di putar setiap tahun untuk memperlihatkan bahwa yang kejam itu PKI.


Seharusnya kerja kesenian bisa men-counter hal seperti itu, terlepas dari keterkaitan politik. Yang menjadi kurang menarik, Film itu diamini sebagai kebenaran. Padahal itu hanyalah produk kebudayaan. Sehingga menimbulkan kecewaan saya pribadi, kenapa pak arifin menggarap film tersebut.


Persoalan waska, beririsan dengan peristiwa 65, tokoh waska sebagai preman cirebon, namun juga sebagai cermin sosial realitas. Tokoh ikonik tersebut menggugat struktur takdir, kenapa harus ada orang miskin, kenapa pelacur, seniman, bukankah mereka hanya ilusi, mencuri ide, seniman mendapat tepuk tangan sedangkan objek yang terlibat didalamnya tidak. Dan corak yang ia anut secara ekonomi memang kapitalistik. Sehingga, interpretasi yang dilakukan Ilyas Mate masih relevan. Karena dalam umang-umang sendiri, orkes madun II, waska sesekali menjadi semar yg mengingatkan waska, dan menjadi waska itu sendiri yang dapat bertingkah diluar kendali, membanting siapapun.


Setelah beberapa pemateri memaparkan bahasan sesuai dengan materinya, moderator memberikan waktu kepada audiens untuk memberikan pertanyaan, pernyataan atau argumennya mengenai bahasan-bahasan yang telah dipaparkan.


Yoga, seorang anggota LPIK menanggapi pembahasan yang terjadi, menurutnya, ia menangkap bahwa kebanyakan hal yang diutarakan mengenai peristiwa 65 terlalu berfokus pada sudut pandang soal mana yang benar mana yg salah.


Padahal penyelesaiannya harus tetap mengarah pada perhatian HAM. Ia kurang sepakat jika PKI dikatakan betul-betul tidak bersalah, pemberontakan mereka diakui oleh DN Aidit sendiri. Karena jauh sebelum peristiwa 65 ada peristiwa yang melatarbelakanginya, seperti peristiwa 48. Dan peristiwa 48 itu bukan main-main, artinya sudut pandang mengenai peristiwa perlu dilihat juga bagaimana latar belakangnya. Walaupun dari sisi pki, kiri, masih lebih banyak proses dan dampak pelanggaran yang terjadi.


Secara sejarah, perlu kita akui bahwa kita masih kental dengan budaya kekerasan.
Dan kelompok rentan adalah perempuan anak kecil. Sebagai narasi, kita perlu membenahi apa yang seharusnya menjadi prioritas perhatian kita.


Agenda ini diakhiri dengan pembacaan puisi oleh Buli-Ju, yang mana bait-bait pada puisi tersebut juga tetap berkaitan dengan peristiwa yang menjadi bahan diskusi kali ini. 


Terima kasih kepada Teater Awal Bandung selaku penyelenggara, terima kasih kepada para pemateri, dan terima kasih kepada para audiens yang turut meramaikan dan tetap peduli pada pertukaran literasi mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang perlu kita renungkan.


Semoga hal-hal baik selalu menyertai, dan
..
Semoga Senyum Tuhan selalu menyertai aktivitas kita selaku khalifah di muka bumi hingga nafas terakhir tersenyum berpapasan Tuhan.
Salam Jiwa.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.